Di belantara situs-situs populer di Tanah Air, hiduplah Kaskus--bersama hampir tiga juta pengikut. Hampir semua pengguna Internet Indonesia, terutama pria, rutin mampir ke situs ini. Mereka bertemu, berteman, berdebat, berhantam, berbaikan, dan berjual-beli dengan giat di halaman-halaman Kaskus. Dengan bangga--sebagian bahkan nyaris militan--mereka menyebut diri kaskuser. Jumlah "suara" mereka bisa mengantar sedikitnya 30 orang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Alexa, lembaga internasional pemeringkat popularitas situs, mencatat Kaskus sebagai situs nomor enam terbanyak dikunjungi di Indonesia. Lima di atasnya situs-situs "impor", macam Facebook, Twitter, dan Google. Alhasil, Kaskus adalah situs lokal nomor satu di Indonesia--dengan jumlah pengakses terbesar pula.
Kedigdayaan Kaskus sungguh paradoks bila dihadap-hadapkan dengan Andrew Darwis, sang pendiri sekaligus "otak" sejati situs tersohor ini. Tubuhnya ceking semampai, raut mukanya kurus, dan geeky. Murah senyum, agak pemalu, tapi bisa berkicau penuh semangat bila obrolannya pas dan rileks. Andrew mengaku kerap gugup di depan orang banyak--apalagi kalau disuruh berpidato. "Saya selalu berkeringat dingin kalau mau diwawancarai," katanya.
Pria 31 tahun ini menciptakan Kaskus di Amerika Serikat pada 1999. Modalnya US$ 7 (setara dengan Rp 70 ribu pada kurs sekarang--Red.) hosting. Ide membuat situs lahir saat dia tengah mengerjakan tugas kuliah membuat program dari free software. Sesungguhnya, Kaskus merupakan wujud impian kanak-kanak Andrew Darwis: komputer, komputer, dan komputer. Macintosh pertama dia peroleh dari kedua orang tuanya saat duduk di bangku sekolah dasar.
Sempat kuliah tiga semester di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Andrew melompat ke Seattle Art Institute di Seattle, Amerika Serikat--untuk meneruskan studi. Kembali ke Jakarta pada 2008, dia memboyong server Kaskus. Dia merekrut tim baru untuk mereposisi situs ini. Terseok-seok di awal, Kaskus kini berjaya: pengikutnya terus bertambah, bisnisnya menjulang--dari tadinya nol, bahkan minus. Sederet prestasi pun direbut. Antara lain "The Greatest Brand of the Decade" (2000-2010), "The Best Innovation in Marketing" (2009), dan "The Best Market Driving Company" (2009).
Tapi Andrew tetaplah Andrew yang geeky, gugupan, dan benci berpidato--walau Kaskus sudah kaya dan terkenal. Di antara berbagai label yang disematkan orang, dia lebih suka disebut penggila Internet saja. Penampilannya amat bersahaja saat kami bertemu: kemeja tangan panjang abu-abu, celana hitam, dan sepatu hitam Hush Puppies. "Dari atas sampai bawah dibelikan orang, karena saya malas belanja," katanya.
Wartawan U-Mag, Andari Karina Anom dan Hermien Y. Kleden, beserta fotografer Ijar Karim, mewawancarai Andrew di Kopitiam Oey di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada pertengahan Maret lalu. Dia memesan es teh manis segelas besar, yang diteguknya berdikit-dikit. Anak muda ini mampu memecah konsentrasi dengan mahir: menjawab pertanyaan, melontarkan canda, melirik iPhone, dan lincah mengetik pesan di BlackBerry Onyx--yang tak pernah jauh dari jangkauannya.
Inilah petikan tiga jam wawancara itu--yang diselingi tawa berderai-derai.
Pernah membayangkan Kaskus jadi sebesar ini?
Enggak juga. Awalnya kita bikin untuk seru-seruan, sharing info tentang Indonesia. Pada 1998, sarana untuk mahasiswa Indonesia di luar negeri buat ngobrol dan meng-update berita dari Tanah Air masih terbatas.
Berapa ongkos awalnya?
Cuma tujuh dolar, untuk hosting saja. Waktu itu saya sudah bekerja di lyrics.com dan Kaskus hanya sambilan. Dan Kaskus sudah jalan sendiri dengan iklan dari Google Adsense. Kita enggak ngapa-ngapain saja tiap bulan dapat duit sekitar US$ 1.500 (sekitar Rp 14 juta pada nilai tukar sekarang--Red.). Untuk operasional hanya butuh US$ 400.
Apa rencana awal Anda ketika membuat Kaskus?
Dari awal membuat Kaskus, tujuan kami bertiga (Andrew, Ronald, dan Budi, pendiri Kaskus--Red.) bukan profit. Kaskus for free dan semua boleh pakai. Semua forum kita buka dan bebas. Makanya banyak orang yang masuk ke Kaskus tidak saling kenal sebelumnya, tapi menjadi teman karena kesamaan interest.
Anda suka disebut sebagai apa?
Internet freak.
Bagaimana kalau pengusaha? Kan, Anda baru meraih "The Best Entrepreneur of the Year" 2010?
Kalau jago bisnis, ya enggak. Yang jago itu si Ken (Ken Dean Lawadinata, CEO Kaskus--Red.), saudara sepupu saya. Lalu ada Danny Wirianto.
Bagaimana kalian bertiga bergabung?
Pada 2006, Ken ke Seattle untuk sekolah. Dia bilang, "Andrew, kalau mau lihat foto cewek-cewek cantik, masuk deh ke Kaskus, lagi rame banget di Indonesia." Karena sudah di Amerika, gue enggak tahu bahwa Kaskus sudah sebesar itu. Ken kaget begitu gue bilang gue yang bikin Kaskus. Dia usul agar kami merapikan Kaskus. Pada 2008, kami balik ke Indonesia dan mulai bekerja. Dia mengurusi bisnis bersama Danny Wirianto, gue teknisnya.
Alexa, lembaga internasional pemeringkat popularitas situs, mencatat Kaskus sebagai situs nomor enam terbanyak dikunjungi di Indonesia. Lima di atasnya situs-situs "impor", macam Facebook, Twitter, dan Google. Alhasil, Kaskus adalah situs lokal nomor satu di Indonesia--dengan jumlah pengakses terbesar pula.
Kedigdayaan Kaskus sungguh paradoks bila dihadap-hadapkan dengan Andrew Darwis, sang pendiri sekaligus "otak" sejati situs tersohor ini. Tubuhnya ceking semampai, raut mukanya kurus, dan geeky. Murah senyum, agak pemalu, tapi bisa berkicau penuh semangat bila obrolannya pas dan rileks. Andrew mengaku kerap gugup di depan orang banyak--apalagi kalau disuruh berpidato. "Saya selalu berkeringat dingin kalau mau diwawancarai," katanya.
Pria 31 tahun ini menciptakan Kaskus di Amerika Serikat pada 1999. Modalnya US$ 7 (setara dengan Rp 70 ribu pada kurs sekarang--Red.) hosting. Ide membuat situs lahir saat dia tengah mengerjakan tugas kuliah membuat program dari free software. Sesungguhnya, Kaskus merupakan wujud impian kanak-kanak Andrew Darwis: komputer, komputer, dan komputer. Macintosh pertama dia peroleh dari kedua orang tuanya saat duduk di bangku sekolah dasar.
Sempat kuliah tiga semester di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Andrew melompat ke Seattle Art Institute di Seattle, Amerika Serikat--untuk meneruskan studi. Kembali ke Jakarta pada 2008, dia memboyong server Kaskus. Dia merekrut tim baru untuk mereposisi situs ini. Terseok-seok di awal, Kaskus kini berjaya: pengikutnya terus bertambah, bisnisnya menjulang--dari tadinya nol, bahkan minus. Sederet prestasi pun direbut. Antara lain "The Greatest Brand of the Decade" (2000-2010), "The Best Innovation in Marketing" (2009), dan "The Best Market Driving Company" (2009).
Tapi Andrew tetaplah Andrew yang geeky, gugupan, dan benci berpidato--walau Kaskus sudah kaya dan terkenal. Di antara berbagai label yang disematkan orang, dia lebih suka disebut penggila Internet saja. Penampilannya amat bersahaja saat kami bertemu: kemeja tangan panjang abu-abu, celana hitam, dan sepatu hitam Hush Puppies. "Dari atas sampai bawah dibelikan orang, karena saya malas belanja," katanya.
Wartawan U-Mag, Andari Karina Anom dan Hermien Y. Kleden, beserta fotografer Ijar Karim, mewawancarai Andrew di Kopitiam Oey di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada pertengahan Maret lalu. Dia memesan es teh manis segelas besar, yang diteguknya berdikit-dikit. Anak muda ini mampu memecah konsentrasi dengan mahir: menjawab pertanyaan, melontarkan canda, melirik iPhone, dan lincah mengetik pesan di BlackBerry Onyx--yang tak pernah jauh dari jangkauannya.
Inilah petikan tiga jam wawancara itu--yang diselingi tawa berderai-derai.
Pernah membayangkan Kaskus jadi sebesar ini?
Enggak juga. Awalnya kita bikin untuk seru-seruan, sharing info tentang Indonesia. Pada 1998, sarana untuk mahasiswa Indonesia di luar negeri buat ngobrol dan meng-update berita dari Tanah Air masih terbatas.
Berapa ongkos awalnya?
Cuma tujuh dolar, untuk hosting saja. Waktu itu saya sudah bekerja di lyrics.com dan Kaskus hanya sambilan. Dan Kaskus sudah jalan sendiri dengan iklan dari Google Adsense. Kita enggak ngapa-ngapain saja tiap bulan dapat duit sekitar US$ 1.500 (sekitar Rp 14 juta pada nilai tukar sekarang--Red.). Untuk operasional hanya butuh US$ 400.
Apa rencana awal Anda ketika membuat Kaskus?
Dari awal membuat Kaskus, tujuan kami bertiga (Andrew, Ronald, dan Budi, pendiri Kaskus--Red.) bukan profit. Kaskus for free dan semua boleh pakai. Semua forum kita buka dan bebas. Makanya banyak orang yang masuk ke Kaskus tidak saling kenal sebelumnya, tapi menjadi teman karena kesamaan interest.
Anda suka disebut sebagai apa?
Internet freak.
Bagaimana kalau pengusaha? Kan, Anda baru meraih "The Best Entrepreneur of the Year" 2010?
Kalau jago bisnis, ya enggak. Yang jago itu si Ken (Ken Dean Lawadinata, CEO Kaskus--Red.), saudara sepupu saya. Lalu ada Danny Wirianto.
Bagaimana kalian bertiga bergabung?
Pada 2006, Ken ke Seattle untuk sekolah. Dia bilang, "Andrew, kalau mau lihat foto cewek-cewek cantik, masuk deh ke Kaskus, lagi rame banget di Indonesia." Karena sudah di Amerika, gue enggak tahu bahwa Kaskus sudah sebesar itu. Ken kaget begitu gue bilang gue yang bikin Kaskus. Dia usul agar kami merapikan Kaskus. Pada 2008, kami balik ke Indonesia dan mulai bekerja. Dia mengurusi bisnis bersama Danny Wirianto, gue teknisnya.
Apa saja pembaruan Kaskus pasca-2008?
Kaskus ini gede, tapi citranya jelek karena sempat ada pornografi dan iklan judi. Sebenarnya, dulu itu pun hanya 15-20 persen yang porno dan SARA. Tapi, seperti biasa, yang negatif-negatif justru mendapat reaksi lebih besar. Jadi kami mulai dari nol lagi, dan bertekad mengubah image. Waktu baru bergabung, Danny tanya, "Berapa bujet reposisi Kaskus?" Kami bilang enggak ada dana, padahal maunya banyak, ha-ha-ha….
Berhasilkah reposisi Kaskus ini?
Kami sukses rebranding ke user, tapi belum bisa rebranding ke klien. Kami pasang iklan besar dan mengundang semua brand agency dalam satu acara di Hotel Kempinski Jakarta.
Sukseskah?
Enggak, ha-ha-ha…. Tiga bulan sesudah event, Kaskus tetap enggak dapat iklan.
Bagaimana kalian bertahan?
Suatu hari, Danny lihat ada gathering agen-agen iklan di Singapura. Kami berpikir, meskipun enggak dapat iklan, paling enggak bisa kenal para publisher. Jadilah kami ke Singapura. Supaya irit, kami cari hotel murah dan seluruh jadwal kami padatkan satu hari. Jadi, sambil seret-seret koper, kami bertiga jalan kaki mendatangi publisher satu per satu.
Jalan kaki?
Ha-ha-ha…. Kami keringatan dan panas. Dan setiap masuk ke agency, kami langsung disembur AC kencang. Jadi, pas balik ke Indonesia, kami sakit semua. Sudah susah-susah begitu, sampai dua bulan sesudahnya, kami enggak juga dapat iklan. Baru akhirnya masuk Air Asia pada 2009.
Wah, sekarang iklan yang antre masuk Kaskus. Adakah iklan yang ditolak?
Ya, iklan partai. Ada partai yang mau pasang iklan, tapi kami tolak. Takutnya kami malah akan membunuh Kaskus kalau mulai masuk ke wilayah politik, biarpun cuma iklan.
Ceritakan tentang para investor asing yang mau invest di Kaskus….
Sejak 2008, ada delapan investor yang mau masuk. Tiga di antaranya lokal. Dari awal kami tegaskan Kaskus bukan untuk profit, jadi sering visi kami tidak ketemu. Investor maunya cepat balik modal. Kami mau user menjadi raja.
Siapa saja mereka?
Salah satunya Yahoo!. Tapi dari awal kami pengen nyari yang lokal.
Itu yang membuat Kaskus akhirnya memilih Djarum?
Sebenarnya bukan Djarum, tapi Global Digital Prima (GDP), yang salah satu pemiliknya Martin Hartono, anak pemilik Djarum, Budi Hartono. Ternyata Martin moderator di Kaskus. Dia sudah lama aktif di kategori grappling (olahraga bela diri).
(Tempointeraktif)